Jumat, 31 Oktober 2014

Sejarah Sumpah Pemuda



Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda

Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. 

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.


Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan


Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Adapun panitia Kongres Pemuda terdiri dari :

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Peserta :
1.       Abdul Muthalib Sangadji
2.       Purnama Wulan
3.       Abdul Rachman
4.       Raden Soeharto
5.       Abu Hanifah
6.       Raden Soekamso
7.       Adnan Kapau Gani
8.       Ramelan
9.       Amir (Dienaren van Indie)
10.   Saerun (Keng Po)
11.   Anta Permana
12.   Sahardjo
13.   Anwari
14.   Sarbini
15.   Arnold Manonutu
16.   Sarmidi Mangunsarkoro
17.   Assaat
18.   Sartono
19.   Bahder Djohan
20.   S.M. Kartosoewirjo
21.   Dali
22.   Setiawan
23.   Darsa
24.   Sigit (Indonesische Studieclub)
25.   Dien Pantouw
26.   Siti Sundari
27.   Djuanda
28.   Sjahpuddin Latif
29.   Dr.Pijper
30.   Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
31.   Emma Puradiredja
32.   Soejono Djoenoed Poeponegoro
33.   Halim
34.   R.M. Djoko Marsaid
35.   Hamami
36.   Soekamto
37.   Jo Tumbuhan
38.   Soekmono
39.   Joesoepadi
40.   Soekowati (Volksraad)
41.   Jos Masdani
42.   Soemanang
43.   Kadir
44.   Soemarto
45.   Karto Menggolo
46.   Soenario (PAPI & INPO)
47.   Kasman Singodimedjo
48.   Soerjadi
49.   Koentjoro Poerbopranoto
50.   Soewadji Prawirohardjo
51.   Martakusuma
52.   Soewirjo
53.   Masmoen Rasid
54.   Soeworo
55.   Mohammad Ali Hanafiah
56.   Suhara
57.   Mohammad Nazif
58.   Sujono (Volksraad)
59.   Mohammad Roem
60.   Sulaeman
61.   Mohammad Tabrani
62.   Suwarni
63.   Mohammad Tamzil
64.   Tjahija
65.   Muhidin (Pasundan)
66.   Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
67.   Mukarno
68.   Wilopo
69.   Muwardi
70.   Wage Rudolf Soepratman
71.   Nona Tumbel


Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin

Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua adalah sebagai berikut :


PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).

KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).

KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).

Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.


Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita bisa menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia.

sumber: http://semangatpemuda-indonesia.blogspot.com/

Profile: Soeharto


Nama Lengkap : Soeharto
Profesi : -
Tempat Lahir : Kemusuk | Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 8 Juni 1921
Zodiac : Gemini
BIOGRAFI
Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Dia resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Pernikahan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin besar revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.

Namun, akhirnya dia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa pada 1998, melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan Ambisius tanpa fatsoen politik. Ayah lima anak ini pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Dia akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Soeharto menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan. Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianati, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa.

Selama masa jabatannya, dia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan pada 1985. Maka, dia mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Dia meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari, sejak 4 sampai 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Soeharto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta. Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Riset dan analisis oleh Vizcardine Audinovic
sumber: Merdeka.com

Profile: Soekarno



Nama Lengkap : Soekarno
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir : Surabaya, Jawa Timur
Tanggal Lahir : Kamis, 6 Juni 1901
Zodiac : Gemini
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai.
Ayah Soekarno adalah seorang guru. Raden Soekemi bertemu dengan Ida Ayu ketika dia mengajar di Sekolah Dasar Pribumi Singaraja, Bali.
Soekarno hanya menghabiskan sedikit masa kecilnya dengan orangtuanya hingga akhirnya dia tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga akhirnya dia ikut kedua orangtuanya pindah ke Mojokerto.
Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School. Di tahun 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).
Setelah lulus pada tahun 1915, Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto yang juga memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya.
Dari sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun berikutnya, Soekarno mulai aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. 
Di tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoge School  (sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil.
Saat bersekolah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Soekarno berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang diinspirasi dari Indonesische Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene Studie Club  merupakan cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927.
Bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat.
Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.
Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Karena jauhnya tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya.
Namun semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Di awal kependudukannya, Jepang tidak terlalu memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia hingga akhirnya sekitar tahun 1943 Jepang menyadari betapa pentingnya para tokoh ini. Jepang mulai memanfaatkan tokoh pergerakan Indonesia dimana salah satunya adalah Soekarno untuk menarik perhatian penduduk Indonesia terhadap propaganda Jepang.
Akhirnya tokoh-tokoh nasional ini mulai bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang tetap melakukan gerakan perlawanan seperti Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Soekarno sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan.
Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara ke Dalat, Vietnam. Marsekal Terauchi menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia merdekan dan segala urusan proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tanggung jawab rakyat Indonesia sendiri.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Para tokoh pemuda dari PETA menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada saat itu di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan.
Ini disebabkan karena Jepang telah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan beberapa tokoh lainnya menolak tuntutan ini dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.
Pada akhirnya,Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berdasarkan sidang yang diadakan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) panitia kecil untuk upacara proklamasi yang terdiri dari delapan orang resmi dibentuk.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Teks proklamasi secara langsung dibacakan oleh Soekarno yang semenjak pagi telah memenuhi halaman rumahnya di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dikukuhkan oleh KNIP.
Kemerdekaan yang telah didapatkan ini tidak langsung bisa dinikmati karena di tahun-tahun berikutnya masih ada sekutu yang secara terang-terangan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan bahkan berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.
Gencaran senjata dari pihak sekutu tak lantas membuat rakyat Indonesia menyerah, seperti yang terjadi di Surabaya ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby berusaha untuk kembali menyerang Indonesia.
Rakyat Indonesia di Surabaya dengan gigihnya terus berjuang untuk tetap mempertahankan kemerdekaan hingga akhirnya Brigadir Jendral AWS Mallaby tewas dan pemerintah Belanda menarik pasukannya kembali. Perang seperti ini tidak hanya terjadi di Surabaya tapi juga hampir di setiap kota. 
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Walaupun telah dilaporkan ke PBB, Belanda tetap saja melakukan agresinya. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda rapat Dewan Keamanan PBB, di mana kemudian dikeluarkan Resolusi No 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947, Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno kembali diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS.
Karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali diubah menjadi Republik Indonesia dimana Ir Soekarno menjadi Presiden dan Mohammad Hatta menjadi wakilnya.
Pemberontakan G30S/PKI melahirkan krisis politik hebat di Indonesia. Massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.
Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).
Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh Soekarno dimana isinya merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.
Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat bisa menjadi presiden apabila presiden sebelumnya berhalangan.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawabannya mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S. Pidato pertanggungjawaban ini ditolak oleh MPRS hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.
Hari Minggu, 21 Juni 1970 Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta. Presiden Soekarno disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur berdekatan dengan makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari. 
Ir Soekarno adalah seorang sosok pahlawan yang sejati. Dia tidak hanya diakui berjasa bagi bangsanya sendiri tapi juga memberikan pengabdiannya untuk kedamaian di dunia. Semua sepakat bahwa Ir Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Ir Soekarno adalah bapak bangsa yang tidak akan tergantikan.
Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh
sumber: .merdeka.com

Pertempuran Bandung Lautan Api


Latar Belakang Pertempuran Bandung Lautan Api

Pasukan Sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan oktober 1945. Menjelang november 1945, pasukan NICA semakin merajelela di Bandung dengan aksi terornya. Masuknya tentara sektu dimanfaatkan oleh NICA untuk mengembalikan kekuasaanya di Indonesia. Tapi semangat juang rakyat dan para pemuda Bandung tetap berkobar.[1]
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :

  1.  Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
  2.  Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.[2]
  3. Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
  4. Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
Proses Terjadinya Pertempuran Bandung Lautan Api

Suatu peristiwa di bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Peristiwa itu di kenal sebagai Bandung Lautan Api. Sebuah memorabilia sejarah Bandung.
Pada awal tahun 1946, Inggris menjanjikan penarikan pasukannya dari Jawa Barat dan menyerahkan kepada Belanda, untuk selanjutnya digunakan sebagai basis militer. Kesepakatan sekutu, Inggris dan NICA (Nederlands Indie Civil Administration) memunculkan perlawanan heroic dari masyarakat dan pemuda pejuang di Bandung, ketika tentara Inggris dan NICA melakukan serangan militer ke Bandung. Tentara sekutu berusaha untuk menguasai Bandung, meskipun harus melanggar hasil perundingan dengan RI.Agresi militer Inggris dan NICA Belanda  pun memicu tindakan pembumihangusan kota oleh para pejuang dan masyarakat Bandung. Bumi hangus adalah memusnahkan dengan pembakaran semua barang, bangunan, gedung yang mungkin akan dipakai oleh musuh.
Sekutu dan NICA Belanda, yang menguasai wilayah Bandung Utara (wilayah di utara jalan kereta api yang membelah kota Bandung dari timur ke barat), memberikan ultimatum (23 Maret 1946) supaya Tentara Republik Indonesia (TRI) mundur sejauh 11 km dari pusat kota (wilayah di selatan jalan kereta api dikuasai TRI) paling lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946.Akibatnya pertempuran pun kembali menghebat. Pada saat itu datang dua buah surat perintah yang isinya membingungkan, yaitu :

  1. Dari perdana Menteri Amir Syarifudin bahwa para pejuang / pasukan RI harus mundur  dari kota Bandung sesuai dengan perjanjian antara pemerintah RI dengan Sekutu yanag saat itu sedang berlangsung di Jakarta.
  2. Dari Panglima TKR (Jenderal Sudirman) Bahwa para pejuang/pasukan RI harus mempertahankan Kota bandung sampai titik darah penghabisan.
Menghadapi dua perintah yang berbeda ini, akhirnya pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB, para petinggi TRI mengadakan rapat untuk menyikapi perintah PM Sjahril di Markas Divisi III TKR. Rapat ini dihadiri para pemimpin pasukan Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, dan perwakilan tokoh masyarakat dan pejuang Bandung. 
Dalam menyikapi ultimatum Inggris, sikap para pejuang terbelah. Ada yang menginginkan bertahan di Bandung sambil melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, ada juga yang memilih meninggalkan Bandung sambil mengatur strategi gerilya ketika berada di luar Bandung. Meski begitu, tujuan mereka sama yakni menolak keras upaya penjajahan kembali oleh Belanda.
Rapat pun berlangsung alot dan panas. Berbagai usulan perlawanan disampaikan peserta rapat, salah satu usul adalah meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala sehingga airnya merendam Bandung. Usul ini disampaikan Rukana. Namun saking emosinya, Rukana menyebut usulnya agar Bandung menjadi “lautan api”, padahal maksudnya “lautan air”. Diduga, dari rapat inilah muncul istilah Bandung Lautan Api.
Usul lain muncul dari tokoh Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT),  Soetoko,  yang tidak setuju jika hanya TRI saja yang meninggalkan Bandung. Menurutnya, rakyat harus bersama TKR mengosongkan kota Bandung.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam militer di Bandung, Nasution akhirnya memutuskan untuk mentaati keputusan pemerintah RI. Keputusan ini berisi beberapa poin, di antaranya TRI akan mundur sambil melakukan melakukan infiltrasi atau bumi hangus, hingga Bandung diserahkan dalam keadaan tidak utuh.[3]
Lalu rakyat akan diajak mengungsi bersama TRI. Selama pengungsian, TRI dan pejuang akan melakukan perlawanan dengan taktik gerilya ke Bandung Utara dan Selatan yang dikuasai musuh. 
Melalui siaran RRI pada pukul 14.00, Nasution mengumumkan:  bahwa semua pegawai dan rakyat harus keluar sebelum pukul 24.00, tentara melakukan bumi hangus terhadap objek vital di Bandung agar tidak dipakai Inggris dan NICA.
Saat malam tiba, TRI akan menyerang Bandung. TRI juga mempersiapkan sejumlah titik pengungsian bagi Keresidenan Priangan, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Jawatan KA, Jawatan PTT, rumah sakit, dan lain-lain. 
Rakyat sebagian ada yang menerima informasi tersebut, sebagian lagi hanya mendengar desas-desus bahwa Bandung akan dibakar dan penduduknya harus ngungsi segera menyebar, tetapi banyak juga yang tidak mengetahui sama sekali. Namun situasi umum waktu itu mencekam, kepanikan di mana-mana.
Meski panik, secara umum rakyat mematuhi keputusan pemerintah. Banyak rakyat yang mengungsi, Meski berat hati harus meninggalkan rumah yang sudah mereka ditinggali sejak kecil. Tempat tujuan pengungsi menyebar, mulai dari Cililin, Ciparay dan Majalaya, Tasikmalaya, Cianjur, Ciwidey, Garut, Sukabumi, bahkan adaya yang mengikuti hingga Jogjakarta.
TRI menjadwalkan peledakan pertama dimulai pukul 24.00 WIB di Gedung Regentsweg, selatan Alun-alun Bandung yaitu Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI), sebagai aba-aba untuk meledakan semua gedung.
Di tengah persiapan itu tiba-tiba terjadi ledakkan. Seorang pejuang, Endang Karmas, mengaku heran dengan adanya ledakan, padahal baru pukul 20.00 WIB. Ledakkan pertama itu terlanjut dianggap aba-aba, sehingga pejuang lain pun tergesa-gesa melakukan pembakaran dan peledakkan gedung.
Karena persiapan yang minim, banyak gedung vital yang tidak bisa diledakkan, kalaupun meledak, tidak sanggup merusak bangunan yang terlalu kokoh. Beberapa kemungkinan menjadi pemicu melesetnya jadwal ledakkan dari jadwal semula,  yakni faktor teknis atau keterampilan menguasi bahan peledak yang minim, alat peledak yang kurang, atau ada sabotase oleh musuh untuk menggagalkan sekenario Bandung Lautan Api.
Terlebih saat persiapan pengungsian pasukan Gurkha dan NICA terus melakukan provokasi hingga penembakan terhadap para pejuang. Hal itulah yang membuat rencana pembakaran dan penghancuran objek vital tidak berjalan seperti rencana. 
Kebakaran hebat justru timbul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat ngungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.
Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut gugur sebagai pahlawan bangsa.
Sejarah heroic itu tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia sebagai peristiwa Bandung Lautan Api (BLA). Lagu Halo-halo Bandung ciptaan Ismail Marzuki menjadi lagi perjuangan pada saat itu. NICA Belanda berhasil menguasai Jawa Barat melalui Perjanjian Renville (17 Januari 1948).
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api. Perlambang emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.

Sejarah Pertempuran Medan Area


Latar Belakang Pertempuran Medan Area
Tahun 1945 – 1949 adalah momen krusial bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Belanda, yang dengan bantuan Inggris dapat kembali ke Indonesia, berusaha keras untuk mendapatkan kembali ‘apa yang telah dirampas Jepang sebelumnya’ yaitu Indonesia, walaupun saat itu Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Disisi lain, Indonesia, sebuah negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya (Indonesia adalah negara pertama yang memproklamasikan kemerdekaan setelah Perang Dunia II), mati matian untuk mempertahankan kemerdekaannya yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Tak ayal, terjadi banyak pertempuran di berbagai daerah. Dengan semangat, para pejuang bertarung sekuat tenaga untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Republik yang baru berdiri ini. Tak terkecuali di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan.
Di Sumatera Utara, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, bisa dibilang, dilakukan di segala medan tempur. Mulai dari perbukitan Berastagi, kilang minyak Pangkalan Berandan hingga jalanan Kota Medan. Kali ini, kita khusus membahas tentang Pertempuran Medan Area yang bertujuan untuk membebaskan Kota Medan dari Sekutu.


Pertempuran Medan Area : Perjuangan Merebut Kota Medan


Latar Belakang Pertempuran Medan Area

Sebelum mulai pembahasan tentang latar belakang Pertempuran Medan Area, perlu untuk diketahui bahwa sejatinya pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama Civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Inilah yang menyebabkan kenapa yang datang ke Medan untuk menjalankan ‘tugas’ yang diamanahkan Sekutu adalah Tentara Inggris. Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada Belanda.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan cukup terlambat di Medan karena sulitnya komunikasi. Proklamasi Kemerdekaan baru dilakukan di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945 oleh Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera. Proklamasi dilaksanakan di Lapangan depan Balaikota saat itu (sekarang dinamakan Lapangan Merdeka). Untuk membantu pengamanan daerah Provinsi Sumatera, pada tanggal 7 Oktober 1945, dua hari setelah Presiden Sukarno membubarkan BKR dan memerintahkan pembentukan TKR, Gubernur Sumatera Mr.T.M. Hasan, mengangkat koordinator-koordinator TKR di setiap Residensi. Sebagai koordinator untuk daerah Sumatera Timur diangkatlah  Abdul Karim M.S. dan untuk daerah Tapanuli dr. Ferdinand Lumbantobing. Mengingat tugasnya sebagai asisten senior pada kantor Gubernur, maka pada tanggal 9 Oktober 1945, Abdul Karim M.S. mengangkat Mahruzar (adik kandung Perdana Menteri Sutan Sayhrir) sebagai formatur untuk membentuk organisasi ketentaraan. Pada tanggal 10 Oktober 1945  dalam  pertemuan untuk membentuk TKR Sumatera Timur,  Ahmad Tahir terpilih sebagai Komandan  TKR Sumatera Timur. Sementera TKR Tapanuli dipimpin oleh Pandapotan Sitompul, TKR Aceh dipimpin Syamaun Gaharu, TKR Riau dipimpin oleh Hasan Basri, TKR Sumatera Barat dipimpin oleh Dahlan Jambek, TKR Jambi dipimpin oleh Abun Jani, dan TKR Palembang dipimpin oleh Hasan Kasim. Markas Besar TKR Sumatera berkedudukan di Lahat Sumatera Selatan. Sejak bulan November 1945, Dr. A.K. Gani diangkat oleh Markas Besar TKR di Jawa sebagai organisator dan koordinator TKR Sumatera. R. Soehardjo Hardjowardojo diangkat sebagai Kepala Markas Besar TKR Sumatera. Dr. A.K. Gani kemudian mengeluarkan intruksi yang menyatakan bahwa Sumatera dibentuk menjadi enam divisi dibawah Komandan Mayor Jendral Suhardjo Hardjo Wardjojo. Unit-unit TKR Sumatera Timur dan Tapanuli  dijadikan Divisi IV dan VI. Di Medan dibentuk  satu unit polisi militer. Pada tanggal 26 Januari TKR Sumatera diubah namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), sesuai dengan instruksi Pemerintah Republik di Jawa.
Namun, sebagaimana yang terjadi di berbagai kota di Indonesia saat itu, Pasukan Sekutu Brigade-4 Divisi India ke-26 tiba di Sumatera Utara pada tanggal 10 Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly. Seperti halnya di daerah daerah lain, kedatangan pasukan Kelly ini disertai juga dengan Pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang didahului oleh kedatangan sebagian kecil Pasukan Sekutu pimpinan Letnan Brondgeest. Brondgeest dan empat orang lainnya dikirim dari Markas Admiral Mountbattens, Komandan South East Asia Command (SEAC) di Kondy (Cylon) dengan instruksi untuk mengawasi persiapan pendaratan pasukan Sekutu di Medan. Pasukan Sekutu disambut oleh Pemerintah Sumatera Utara dan mempersilahkan mereka untuk menempati beberapa hotel di Medan yang telah disiapkan oleh Brondgeest sebelumnya seperti Hotel de Boer (Dharma Deli), Grand Hotel (Granada), Hotel Astoria (Angkasa), Gedung NHM (Nederlands Handels Maatschappij), dan lain-lain. Sebagian lagi ditempatkan di Tanjung Morawa, Binjai dan kompi Batalyon-6/SWB pindah ke Brastagi dan menempati gedung Plantersschool (bekas tempat tawanan sipil Belanda) masa pendudukan tentara Jepang. Brigjend Kelly menyatakan kepada pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar Kota Medan.
Keesokan harinya, tim RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Interness) mengunjungi kamp kamp tawanan yang ada di Brayan, Rantau Prapat, Saentis dan Berastagi untuk membebaskan tawanan dan membawanya ke Medan. Hal ini disetujui oleh Gubernur Sumatera, Teuku Muhammad Hasan. Akan tetapi, Inggris malah mempersenjatai mereka dan membentuk Medan Batalyon KNIL, yang terdiri atas seluruh tawanan yang telah dibebaskan dan dipersenjatai. Para bekas tawanan ini menjadi arogan terhadap para pejuang dan rakyat. Untuk hal ini, masyarakat masih bersabar.
Amarah para pejuang, terutama pemuda, mulai terbakar ketika seorang tentara NICA merampas dan menginjak injak lencana Merah Putih. Saat itu tanggal 13 Oktober 1945. Tidak hanya itu tindakan provokasi Inggris. Tanggal 18 Oktober, Brigjend Kelly mengeluarkan ultimatum yang berbunyi seba­gai berikut, bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan Laskar rakyat, dan harus meny­erahkan semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu. Pada 23 Oktober 1945, Pasukan Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan itu mereka berhasil menda­patkan 3 pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 detonator listrik, dan 6 tombak.
Sejak tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentara Inggris  sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis, bahkan ada serda­du-serdadu dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan. Di samping itu Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers, menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu akhirnya menimbulkan konflik ber­senjata dengan para pemuda Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat. Dan provokasi Inggris yang paling puncak adalah ketika tanggal 1 Desember 1945 diberbagai sudut kota Medan, Inggris menandai secara sepihak wilayah kekuasaannya dengan memasang tulisan “Fixed Boundaries Medan Area”, dan daerah inilah kemudian terkenal menjadi Medan Area.
Tapi tentu saja, sikap provokatif Inggris harus dibayar dengan amarah rakyat. Di bagian berikutnya, akan dijelaskan bagaimana bentrokan pecah dan bertumbuh menjadi Pertempuran Medan Area.
Jalannya Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area dimulai dari bentrokan tanggal 13 Oktober 1945, baru empat hari setelah pasukan Inggris sampai di Medan, meledak suatu konflik bersenjata antara para pemuda revolusioner dengan pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu terjadi akibat adanya provokasi langsung seorang serdadu Belanda yang bertindak merampas lencana merah putih (sudah disebutkan di bagian sebelumnya) yang tersemat di peci seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama Pension Wilhelmina, Jalan Bali (sekarang Jalan Veteran). Ratusan pemuda yang berada ditempat itu meny­erang serdadu itu dengan senjata pedang, pisau, bambu runcing, dan beberapa senjata api. Dalam peristiwa itu timbul korban sebagai berikut : 1 orang opsir  yaitu Letnan Goeneberg dan 7 orang serdadu NICA meninggal. Beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal, dan 96 orang serdadu NICA luka-luka termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 orang wani­ta. Di pihak Indonesia gugur 1 orang (menurut prasasti yang didirikan 7 orang) dan luka berat satu orang. Lokasi pertempuran saat ini berada dekat dengan Pusat Pasar.
Peristiwa Jalan Bali itu segera tersiar ke seluruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh daerah Sumatera Utara dan  menjadi sinyal bagi kebanyakan pemuda, bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi Revolusi Nasional. Akibatnya dengan cepat bergelora semangat anti Belanda di seluruh Sumatera Timur. Diantara pemuda itu adalah Bedjo, salah seorang pemimpin laskar rakyat di Pulo Brayan. Bedjo bersama pasukan selikur­nya pada tanggal 16 Okto­ber 1945, tengah hari setelah sehari sebelumnya terjadi peristiwa Siantar Hotel, menyerang gudang senjata Jepang di Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan. Setelah melakukan serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan pasukannya kemudian menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo Brayan. Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang menyerang Helvetia berhasil menewaskan 5 orang serdadu KNIL. Serangan yang dilakukan oleh para pemuda di Jalan Bali dan Bedjo itu telah menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka mulai sadar bahwa para pemuda-pemuda Republik telah memiliki persenjataan dan semangat kemerdekaan yang pantas diperhi­tungkan.
Sementara itu, di simpang Jalan Deli dan Jalan Serdang yang sekarang disebut Jalan Perintis Kemerdekaan, pecah bentrokan lain. Bentrokan pecah di sebuah masjid di sana. Para pejuang yang dipimpin Wiji Alfisa dan Zain Hamid bertempur dengan tentara Inggris pada 17 Oktober 1945. Mereka berhasil bertahan dari gempuran Inggris hingga pada 20 Oktober 1945, Inggris memutuskan untuk menghancurkan masjid tempat mereka bertahan. Setelah perang, masjid lain dibangun diatasnya untuk mengenang perjuangan mereka. Masjid itu dinamai Masjid Perjuangan 45.
Oleh karena itu sebagai tentara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Komandan Inggris Brigadir Jenderal TED Kelly pada tanggal 18 Oktober 1945 mengeluar­kan sebuah ultimatum yang berbunyi seba­gai berikut, bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan Laskar rakyat, dan harus meny­erahkan semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu. Pada tanggal 23 Oktober 1945, pasukan Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan itu mereka berhasil menda­patkan 3 pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 denator listrik, dan 6 tombak.
Sejak tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentara Inggris  sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis, bahkan ada serda­du-serdadu dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan. Di samping itu Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers, menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu akhirnya menimbulkan konflik ber­senjata dengan para pemuda Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat.
Demikianlah pada tanggal 2 Desember 1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang mencuci trucknya di Sungai dekat Kampung Sungai Sengkol telah diserang oleh TKR. Kedua serdadu Inggris itu tewas, dua buah senjata dan trucknya dirampas. Dua hari kumudian, seorang perwira Inggris tewas terbunuh  di sekitar Saentis. Akibatnya pasukan Inggris terus melakukan patroli di sekitar Medan, dan mereka mulai bertindak kasar. Pada tanggal 6 Desember 1945, tentara Inggris datang mengepung Gedung Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua filem di gedung tersebut. Tindakan tentara Inggris itu menyebab­kan para pemuda segera mengepung gedung bioskop itu, sehingga timbullah pertempuran kecil, yang berakhir dengan tewasnya seorang tentara Inggris.
Beberapa jam setelah peristiwa “Oranje Bioscop”, markas Pesindo di Jalan Istana dan markas Pasukan Pengawal Pesindo di sekolah Derma dirazia oleh tentara Inggris. Di sepanjang Jalan Mahkamah dan Jalan Raja, tentara Inggris melakukan show of force. Tidak lama sesu­dah itu, markas TKR di bekas restoran Termeulen diobrak-abrik dan penghuninya diusir oleh tentara Inggris. Pada malam harinya para pemuda dan anggota TKR menyerang gedung itu dengan granat botol, sehingga gedung itu terbakar. Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam hari di mana-mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan TKR. Akibat serangan itu tentara Inggris/NICA  pada tanggal 10 Desember 1945 menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian, Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar Bangsa Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan barang siapa memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas kota Medan dan Belawan akan ditembak mati.
Untuk menindaklanjuti intruksi itu pada bulan Maret 1946 pasukan Sekutu/Inggris kembali melakukan razia ke basis-basis laskar rakyat di sekitar Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Laskar Napindo yang berada berada di daerah ini kemudian mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak. Pertempuran kemudian berkobar selama dua hari  dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa. Namun demikian pasukan sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV berserta seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematang Siantar.
Sejak pindahnya Komando Militer dan Pemerintahan Republik ke Pematang Siantar pasukan Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Laskar Rakyat di sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur habis kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan itu tentu saja membuat penduduk sipil mengungsi ke luar kota, seper­ti ke Tanjung Morawa, Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan sebagainya. Kampung-kampung seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara, Jl. Japaris, Kota Maksum, Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru, Padang Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar, Kampung Sekip, Glugur, dan sebagai­nya menjadi sepi. Meskipun demikian Inggris tidak leluasa bergerak ke luar kota, karena laskar rakyat dan TRI siap menghadangnya.
Sampai akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan Area bergerak tanpa komando. Karena itu pada bulan  Agustus 1946 dibentuklah Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. KRLMA membawahi laskar Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah, dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi.  Medan Area dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub-sektor. Markas Komando ditempatkan di Two Rivers (Treves).
Dalam pada itu Belanda mulai mengarah­kan kekuatan militernya ke Sumatera dalam rangka mengaman­kan sumber ekonomi yang vital di Sumatera Timur. Untuk  itu, maka pada awal bulan Oktober 1946 satu batalion pasukan bersen­jata dari negeri Belanda mendarat di Medan. Beberapa hari kemudian diikuti dengan satu batalion KNIL dari Jawa Barat. Gerakan militer pasukan Belanda ini tidak bisa dilepaskan dengan adanya rencana Inggris yang ingin sece­patnya meninggalkan Indonesia. Semua instasi penting yang ada di Medan Area segera diserahkan kepada Komandan Mili­ter Belanda. Pasukan Belanda kemudian mengambil alih semua tugas penyerangan terhadap pangkalan militer Republik di sekitar Medan Area. Unit-unit militer Republik, baik TRI maupun laskar rakyat segera bereaksi menanggapi pengambi­lalihan Belanda dan mulai meningkatkan serangannya terha­dap patroli-patroli Belanda maupun Inggris. Hingga akhir tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan Belanda terus terjadi di segala front Medan Area.
Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941 disetujui untuk mengadakan serangan bersama. Sasaran yang akan direbut di Medan Timur adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat ialah Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan di Medan selatan adalah kota Matsum yang akan jadi sasarannya. Rencana gerakan ditentukan, pasukan akan bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan.
Hari "H" ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB, sasaran pertama Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari "H", batalyon A resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen laskar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.
Patut diketahui, bahwa beberapa waktu yang lalu, pihak Inggris telah menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Belanda. Pada saat sebagian pasukan Inggris bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan Belanda, pasukan kita menyerang mereka. Gerakan-gerakan batalyon-batalyon resimen Laskar Rakyat Medan Area rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah Medan Selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan kita membalas tembakan dan berhasil menghentikannya.
Sementara itu Inggris menyerang seluruh Medan Selatan. Pertempuran jarak dekat berkobar di dalam kota. Pada keesokan harinya Kota Matsum bagian timur diserang kembali. Pasukan Inggris yang berada di Jalan Ismailiah berhasil dipukul mundur.
Sementara pertempuran berlangsung, keluar perintah pada 3 November 1946, gencatan senjata diadakan dalam rangka penarikan pasukan Inggris dan pada gencatan senjata itu dilakukan, digunakan untuk berunding menentukan garis demarkasi. Pendudukan Inggris secara resmi diserahkan kepada Belanda pada tanggal 15 November 1946.
Tiga hari setelah Inggris meninggalkan Kota Medan, Belanda mulai melanggar gencatan senjata. Di Pulau Brayan pada tanggal 21 November, Belanda merampas harta benda penduduk dan pada hari berikutnya Belanda membuat persoalan lagi dengan menembaki pos-pos pasukan laskar di Stasiun Mabar, juga Padang Bulan ditembaki.
Pihak laskar membalas. Kolonel Schalten ditembak ketika lewat di depan pos Laskar. Belanda membalas dengan serangan besar-besaran di pelosok kota. Angkatan Udara Belanda melakukan pengeboman, sementara itu di front Medan Selatan di Jalan Mahkamah kita mendapat tekanan berat, tapi di Sukarame gerakan pasukan Belanda dapat dihentikan.
Pada tanggal 1 Desember 1946, pasukan kita mulai menembakkan mortir ke sasaran Pangkalan Udara Polonia dan Sungai Mati. Keesokan harinya Belanda menyerang kembali daerah belakang kota. Kampung Besar, Mabar, Deli Tua, Pancur Bata dan Padang Bulan ditembaki dan dibom. Tentu tujuannya adalah memotong bantuan logistik bagi pasukan yang berada di kota. Tapi walaupun demikian, moral pasukan kita makin tinggi berkat kemenangan yang dicapai.
Karena merasa terdesak, Belanda meminta kepada pimpinan RI agar tembak-menembak dihentikan dengan dalih untuk memastikan garis demarkasi yang membatasi wilayah kekuasaan masing-masing. Dengan adanya demarkasi baru, pasukan-pasukan yang berhasil merebut tempat-tempat di dalam kota, terpaksa ditarik mundur.
Selagi kita akan mengadakan konsolidasi di Two Rivers, Tanjung Morawa, Binjai dan Tembung, mereka diserang oleh Belanda. Pertempuran berjalan sepanjang malam. Serangan Belanda pada tanggal 30 Desember 1946 ini benar-benar melumpuhkan kekuatan laskar kita. Daerah kedudukan laskar satu demi satu jatuh ke tangan Belanda. Dalam serangan Belanda berhasil menguasai Sungai Sikambing, sehingga dapat menerobos ke segala arah.
Perkembangan perjuangan di Medan menarik perhatian Panglima Komandemen Sumatera. Ia menilai bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Resimen Laskar Rakyat Medan Area ialah karena kebijakan sendiri. Komandemen memutuskan membentuk komando baru, yang dipimpin oleh Letkol Sucipto. Serah terima komando dilakukan pada tanggal 24 Januari 1947 di Tanjung Morawa. Sejak itu pasukan-pasukan TRI memasuki Front Medan Area, termasuk bantuan dari Aceh yang bergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area.
Membuka awal tahun 1947, dibentuk “Komando Medan Area” (KMA) yang dipimpin langsung oleh perwira tinggi TRI, dan mengambil alih pimpinan operasi di front Medan Area dari tangan Resimen Laskar Rakyat Medan Area (RLRMA). Resimen Laskar Rakyat Medan Area  dibu­barkan. KMA kemudian melancarkan serangan yang dikenal dengan “Operasi 15 Februari 1947.” Operasi militer tanggal 15 Februari itu merupakan operasi besar-besaran yang pertama di Medan Area, yang melibatkan kekuatan TRI dan Laskar Rakyat. Di sektor Barat dan Utara, dikerahkan pasukan TRI Divisi Gadjah II, pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), dan dibantu oleh laskar rakyat yang berada di sektor tersebut. Opera­si di sektor itu dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad, Koman­dan RIMA. Di sektor selatan dikerahkan pasukan-pasukan dari Resimen I, II, III Divisi Gadjah II Sumatera Timur dan dibantu oleh Laskar Rakyat Medan Selatan. Operasi di sektor tersebut dipimpin oleh Mayor Martinus Lubis, Koman­dan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II.
Dalam pertempuran tanggal 14-15 Februari, disamping gugurnya Komandan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II TRI, lebih dari 100 orang anggota laskar dan TRI menderi­ta luka berat dan ringan. Pertempuran itu juga telah menelan korban 17 orang penduduk sipil tewas dan 50 orang lainnya menderita luka-luka. Di sisi lain, sebanyak 70 buah rumah musnah terbakar. Di pihak Belanda telah gugur dalam pertempuran itu sebanyak 35 orang dan lebih 60 orang lainnya menderita luka-luka. Sebuah Mustang dan tiga buah pipercub mengalami kerusakan hebat dan sebuah tank brengun carrier rusak dan terbakar terkena granat di Jalan Mahka­mah. Di Sukaramai, sebuah panser dapat dirampas oleh laskar rakyat dan pengemudinya mati terbunuh dan lima kenderaan  militer lainnya hancur. Dalam pertempuran itu, sebanyak dua kali lapangan terbang Polonia mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk bebera­pa saat. Lemahnya koordinasi antar pasukan yang diaki­batkan oleh buruknya sarana komunikasi dan lemahnya per­senjataan, tampaknya menjadi faktor utama kurang berhasil­nya serangan frontal tanggal 15 Februari 1947.
Serangan yang dikordinasi oleh KMA itu dihentikan, karena  ada perintah penghentian tembak menembak (cease fire) pada tanggal 15 Februari 1947 jam 24.00. Sesudah itu Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang definitif untuk  Medan Area. Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai oleh tentara Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentara Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah pemasangan patok-patok pada garis demarka­si itu. Pertempuran dan insiden bersenjata antara kedua pihak selalu mempersengketakan garis demarkasi itu.
Memasuki bulan Juni 1947, hubungan antara pemerintah Republik dan Belanda semakin buruk. Perjanjian Linggarjati dan Gencatan Senjata di Sumatera Timur (Medan Area) tidak ditepati. Belanda mulai merusak perjanjian linggarjati dengan membentuk Negara Pasundan. Di Sumatera Timur, Belanda melakukan tindakan profokatif untuk memecah belah persatuan antara rakyat dan Republik Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu Belanda bahkan mengedarkan candu, uang palsu, dan memberikan hadiah uang kepada kaki tangannya untuk membunuh perwira TRI dan tokoh-tokoh Republik.
Mengantisipasi akan pecahnya konflik militer terbuka dengan Belanda, maka  Presiden Soekarno tanggal 3 Mei 1947  memerintahkan penggabungan semua pasukan bersen­jata ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Pada tanggal 13 Juli 1947 Jendral Suhardjo Komandan T.R.I. Territorium Sumatera memerintahkan  semua kekuatan TRI dan Laskar Rakyat di Sumatera segera bergabung ke dalam TNI. Namun demikian, sejumlah unit-unit Laskar Rakyat tidak mau mematuhi perintah Suhardjo, terutama dari Pesin­do dan Barisan Merah. Bahkan unit-unit yang diterima sebagai bagian dari TNI pun sedikit sekali yang patuh, karena mereka memiliki otonomi dalam aspek politik dan ekonomi. Bagi beberapa Laskar Rakyat, pada umumnya terus beroperasi secara bebas seperti sebelumnya, mereka saling bersaing baik dengan Laskar Rakyat lainnya maupun dengan TRI, terutama dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi sebagai sarana memperoleh senjata.

Akhir Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area berakhir pada 15 Februari 1947 pukul 24.00 setelah ada perintah dari Komite Teknik Gencatan Senjata untuk menghentikan kontak senjata. Sesudah itu Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang definitif untuk  Medan Area. Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai oleh tentara
Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentara Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah pemasangan patok-patok pada garis demarka­si itu. Akan tetapi kedua pihak, Indonesia dan Belanda, selalu bertikai mengenai garis demarkasi ini. Empat bulan setelah akhir pertempuran ini, Belanda melaksanakan Operatie Product atau disebut Agresi Militer Belanda I.
Ada beberapa akibat dari Pertempuran Medan Area ini, yaitu :
1.      Terbaginya kawasan Medan oleh garis demarkasi.
2.      Perpindahan pusat pemerintahan Provinsi Sumatera ke Pematang Siantar.