Pada
sekitar tahun 1961, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan
minyak dan tambang-tambang asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen
dari keuntungan perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia.
Namun kebanyakan dari mereka, gerah dengan peraturan itu. Akibatnya, skenario
jahat para elite dunia akhirnya mulai direncanakan terhadap kekayaan alam
negeri tercinta, Indonesia.
Pada
akhir tahun 1996 lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh seorang penulis Lisa
Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan
dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut
adalah “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“.
Illuminati
Card Game Agenda – Rewriting History
Walau
dominasi Freeport atas “gunung emas” di Papua telah dimulai sejak tahun 1967,
namun kiprahnya di negeri ini ternyata sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Pada
kesempatan ini, kami akan menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya
besar yang masih tersimpan di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini dan
belum terjawab, bahkan tak akan pernah terjawab.
Hal itu
dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak
sekali sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang,
dibengkokkan, lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa
lalu, bagai ‘media peliharaan’.
Dalam
tulisannya yang dimuat dalam majalahProbe, Lisa Pease mendapatkan temuan jikaFreeport
Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut
berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun
1959.
Saat itu
di Kuba, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh
Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan.
Freeport
Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya
dari Kuba, akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba.
Menurut
Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya
pembunuhan terhadap Fidel Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Ditengah
situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilsonyang menjabat sebagai Direktur Freeport
Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan
van Gruisen.
Dalam
pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan
penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang
ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.
Forbes
Wilson,Direktur Freeport Sulphur 1959 (pic: mininghalloffame.org)
Uniknya,
laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama
bertahun-tahun begitu saja di perpustakaan Belanda.
Namun,
Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan
kemudian membacanya.
Dengan
berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika
selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis
tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah.
Tidak
seperti wilayah lainnya diseluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada
disekujur tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi
tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar
hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat
untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini
benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari
kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama
beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung
Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam
sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Forbes
Wilson (kanan) bersama anggota geologist Freeport di Erstberg, 1967. (Click to
enlarge zoomed)
Wilson
menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya
tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di
permukaan tanah.
Dari
udara, tanah disekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain
dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan
perak!!
Menurut
Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN, bukan Gunung
Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport
akan untung besar, hanya dalam waktu tiga tahun pasti sudah kembali modal.
Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat.
Forbes
Wilson (kanan / belakang) bersama anggota geologist Freeport di Erstberg 1967
Pada 1
Februari 1960, Freeport Sulphurmeneken kerjasama dengan East Borneo
Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun
lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang
pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat
tengah mengancam.
Hubungan
Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan
pasukannya di Irian Barat.
Tadinya
Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John
Fitzgerald Kennedy(JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK
malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy
mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika
ngotot mempertahankan Irian Barat.
Soekarno
dan JF Kennedy
Belanda
yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya
dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah dan
mundur dari Irian Barat.
Ketika
itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung
banyak emas, bukan tembaga.
Sebab
jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall
Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak
dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian
kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin
Freeport jelas marah besar.
Presiden
AS, John F Kennedy ditembak saat bersama istrinya di mobil kap terbuka pada 22
November 1963.
Apalagi
mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia
sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus
dihentikan!
Segalanya
berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak
pada 22 November 1963.
Banyak
kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar
menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya
atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden
Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia,
kecuali kepada militernya.
Presiden
Sukarno pada lawatan kenegaraannya ke Amerika Serikat sedang memeriksa barisan
tentara kehormatan Amerika setelah turun dari pesawat didampingi presiden AS,
John F Kennedy
Salah
seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye
pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus
C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh
yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya
dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan
dengan Standard Oil of California).
Soekarno
pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan
60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah
satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh
kebijakan Soekarno ini.
Augustus
C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport dan pemimpin Texaco, yang
membawahi Caltex, ia juga chairman Presbyterian Hospital Board dan Penasehat
CIA di kepresidenan AS untuk masalah luar negeri..
Augustus
C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini
disingkirkan secepatnya.
Mungkin
suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian
Hospital di New York, dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya
(1961-1962).
Sudah
bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan
tokoh CIA.
Lisa
Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964
sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco.
Apa saja
yang dilakukan orang ini dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai
“masa yang paling krusial”.
Pease
mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai
Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan
Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen
kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.
Badan
ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di
negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta
terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Pengamat
sejarawan LIPI, Dr Asvi Marwan Adam
Sedangkan
menurut pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr
Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia
dikelola oleh anak bangsa sendiri.
Asvi
juga menuturkan, sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta
mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di
Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto
yang pro-pemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan
kepada peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana
nasionalisasi perusahaan asing itu.
“Soeharto
sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti
itu,” kata Asvi.
Sebelum
tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu
menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara
halus.
“Saya
sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada
generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno
berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri
Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan
orang Indonesia masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri.
Oleh karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke
negara-negara lain.
Suharto,
sebagai komandan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) disaat memimpin
pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI
Soekarno
boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon
pengelola negara.
Namun
Asvi menjelaskan bahwa usaha pihak luar yang bernafsu ingin mendongkel
kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat!
Setahun
sebelumnya yaitu pada tahun 1964, seorang peneliti diberi akses untuk membuka
dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta
besar Pakistan di Eropa.
Dalam
surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel
Belanda yang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke
Barat. Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di
Indonesia oleh partai komunis.
Sebab
itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis
Indonesia (PKI), setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram
rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat
dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua.
Salah
satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul
21.48, yang menyatakan ada pertemuan para penglima tinggi dan pejabat Angkatan
Darat Indonesia membahas rencana darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal.
Namun
kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh
dari rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih
kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Mantan
pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar
adanya.
Soeharto
diberikan mandat dengan dikeluarkannya Supersemar untuk mengatasi keadan oleh
presiden Sukarno
Maka
dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan
Jenderal yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September yang
didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai “G-30/S-PKI” dan
disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh) September oleh pro-Sukarno.
Setelah
pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah
total.
Terjadi
kudeta yang telah direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah
itu disalahartikan.
Dalam
Supersemar, Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan
negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru menjadikannya menjadi
seorang presiden.
Suharto
dan Tien Suharto berdiri di depan Patung 7 Jenderal di daerah Lubang Buaya yang
dalam pelajaran sejarah, mereka telah “dibunuh PKI” lalu jasadnya ditemukan
hanya dalam satu lubang sumur di daerah Lubang Buaya
Dalam
artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport yang diterbitkan
majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis bahwa akhirnya pada
awal November 1965, satu bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira
loyalis Soekarno (yang dikenal juga sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI),
Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport
sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Ibnu
Sutowo, Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada tahun 1966.
Forbes
Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah
tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan
minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Dia
berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih
berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga
1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke
tangan Freeport?
Lisa
Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai
kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia.
Oleh
karenanya, usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa
elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri
Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Julius
Tahija, penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Namun
pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri
Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet
Bratanata.
Selain
itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan
asing yaitu Julius Tahija.
Julius
Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Dalam
bisnis ia menjadi pelopor dalam keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan
multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter &
Gambler (Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk
Freeport Indonesia.
Sedangkan
Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah
yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.
Sebagai
bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA)
pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya
dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger
dan disahkan tahun 1967.
Maka,
Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani
Soeharto.
Bukan
saja menjadi lembek, bahkan sejak detik itu, akhirnya Indonesia menjadi negara
yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk
selamanya.
Bahkan
beberapa bulan sebelumnya yaitu pada 28 Februari 1967 secara resmi pabrik BATA
yang terletak di Ibukota Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh
Pemerintah Indonesia kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian
pabrik Bata dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Keterangan
gambar diatas: Penandatanganan perjanjian pengembalian kembali pabrik Bata
pada tanggal 3 Maret 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency
(ANP) (klik untuk memperbesar)
Padahal
pada masa sebelumnya sejak tahun 1965 pabrik Bata ini telah dikuasai
pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan pengembalian kembali? Dibayar berapa hak
untuk mendapatkan atau memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika
saja ini terjadi pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan
tentang hal ini.
Namun
ini baru langkah-langkah awal dan masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak
terjang Suharto yang masih akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun
mendatang yang kini diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar
sebagai Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata
dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.
Masih
ditahun yang sama 1967, perjanjian pertama antara Indonesia dan Freeport untuk
mengeksploitasi tambang di Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7
April perjanjian itu ditandatangani.
Keterangan
gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Freeport di Jakarta Indonesia,
1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik
untuk memperbesar)
Akhirnya,
perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, AS pada Jumat 7 April 1967
menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan
tembaga di Papua Barat. Freeport diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100
juta dolar AS.
Penandatanganan
bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh
Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills
(Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia),
anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini.
Penandatanganan kontrak kerja
dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut
disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall
Green.
Freeport
mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak
selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada
Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan
tujuan Jepang.
Dari
penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan
Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Inilah
kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno
kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka
sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia.
Setelah
itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan
di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan
Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Keterangan
gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Nikel Irian oleh Pacific Nickel
Indonesia, 19 Februari 1969. Sumber foto: The Netherlands National News
Agency (ANP) (klik untuk memperbesar)
Perjanjian
dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens), Soemantri
Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang menggantikan Ir.
Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel).
Pacific
Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch
Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt
Gordon Mines Ltd.
Namun
menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak
keganjilan.
Contohnya
seperti tiga perjanjian diatas saja dulu dari puluhan atau mungkin ratusan
perjanjian dibidang pertambangan. Terlihat dari ketiga perjanjian diatas sangat
meragukan kebenarannya.
Pertama,
perjanjian pengembalian pabrik Bata, mengapa dikembalikan? apakah rakyat
Indonesia tak bisa membuat seperangkat sendal atau sepatu? sangat jelas ada
konspirasi busuk yang telah dimainkan disini.
Kedua,
perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar
menambang tembaga?
Saya
sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang
tembaga.
Tapi
karena pada masa itu tak ada media, bagaimana jika semua ahli geologi Indonesia
dan para pejabat yang terkait di dalamnya diberi setumpuk uang? Walau tak
selalu, tapi didalam pertambangan tembaga kadang memang ada unsur emasnya.
batu
mengandung perak (atas) dan batu mengandung nikel (bawah) secara kasat mata,
terlihat tidak begitu banyak perbedaan.
Perjanjian
ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk kedua
kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel?
Saya
sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang
nikel.
Begitulah
seterusnya, semua perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di
bumi Indonesia dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta
perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan ratusan tahun
ke depan.
Kekayaan
alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa
kabur ke negara-negara pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia
selama puluhan tahun lamanya.
“Saya
melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu
menghancurkan komunis, yang konon bantuannya itu dengan senjata,” tutur
pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi
Marwan Adam.
Untuk
membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone
memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja
sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun
1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi
perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun
1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah
buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas
di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih
tembaganya menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley
menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih
tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan untuk 45
tahun ke depan.
Ironisnya,
Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga
terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di
dunia!!
Istilah Kota Tembagapura itu
sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya EMASPURA. Karena gunung tersebut
memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga
terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian
baru menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport
sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa
dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine)
atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru dimana
telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke
Amerika.
Ini
sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai
sekarang!!
Seharusnya
patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura?
Apakah
pada awalnya pihak Indonesia sudah “dibohongi” tentang isi perjanjian
penambangan dan hanya ditemukan untuk mengeksploitasi tembaga saja?
Jika
iya, perjanjian penambangan harus direvisi ulang karena mengingat perjanjian
pertambangan biasanya berlaku untuk puluhan tahun kedepan!
Menurut
kesaksian seorang reporter CNN yang diizinkan meliput areal tambang emas
Freeport dari udara, dengan helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang
ditahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah yang dalam.
Semua
emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah dibawa kabur ke
Amerika, meninggalkan limbah beracun yang mencemari sungai-sungai dan
tanah-tanah orang Papua hingga ratusan tahun ke depan.
Dan
menurut penelitian Greenpeace, Operasi Freeport McMoran di Papua telah membuang
lebih dari 200.000 ton tailing perharinya ke sungai Otomina dan Aikwa, yang
kemudian mengalir ke Laut Arafura.
Dan
hingga 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton
tailingyang sebagian besar berakhir di lautan.
Sedimentasi
laut dari limbah pertambangan hanyalah satu dari berbagai ancaman yang merusak
masa depan lautan kita. (download PDF: laut Indonesia dalam krisis)
Puncak
Jaya di Irian Jaya pada latar belakang dan Muller Glacier pada latar depan,
tahun 1990-an
Keterangan
2 foto diatas: tampak semakin berkurangnya salju atau es di Puncak Jaya
Papua. Foto kiri Puncak Jaya ditahun 1936, dan foto kanan Puncak Jaya
ditahun 1972. (lihat animasi format GIF)
The
highland area in 2005, with the Grasberg copper mine pit in the foreground. Its
summit is at the far end of the central rib. (wikipedia)
Freeport
juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto,
dari sipil hingga militer.
Sejak
1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi tambang
pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Freeport
McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat
besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari
tambang itu memang sangat dahsyat.
Jika
Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih dahulu. Itu
pula yang menjadi salah satu sebab, siapapun yang akan menjadi presiden
Indonesia kedepannya, tak akan pernah mampu untuk mengubah perjanjian ini dan
keadaan ini.
Karena,
jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani mengutak-atik
tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan menggunakan seluruh kekuatan
politik dengan media dan militernya yang sangat kuatnya di dunia, dengan cara
menggoyang kekuasaan presiden Indonesia.
Kerusuhan,
adu domba, agen rahasia, mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok negeri agar
rakyat Indonesia merasa tak aman, tak puas, lalu akan meruntuhkan kepemimpinan presidennya
siapapun dia.
Inilah
salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di era
kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade.
Suharto,
presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum dengan julukannya “the smilling
General”, presiden satu-satunya di dunia yang sudi melantik dirinya sendiri
menjadi Jenderal bintang lima
Namun
masih banyak yang ingin menjadikannya pahlawan nasional, karena telah sukses
menjual kekayaan alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari Sabang hingga
Merauke, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang besar, Indonesia Raya. Dan
ini bukan lagi kosnspirasi teori, tapi semua ini adalah konspirasi fakta.
Indonesia,
negeri yang seharusnya memiliki masyarakat yang makmur sebagai Mercu Suar
Dunia, negeri yang seharusnya mumpuni dan berguna untuk membantu puluhan
negara-negara miskin yang rakyatnya masih banyak dihantui kelaparan
berkepanjangan di banyak belahan dunia, akibat penguasa selama 32 tahun itu,
kini justru jadi bangsa pengemis. (berbagai sumber)