Latar
Belakang Pertempuran Medan Area
Tahun
1945 – 1949 adalah momen krusial bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaannya. Belanda, yang dengan bantuan Inggris dapat
kembali ke Indonesia, berusaha keras untuk mendapatkan kembali ‘apa yang telah
dirampas Jepang sebelumnya’ yaitu Indonesia, walaupun saat itu Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya. Disisi lain, Indonesia, sebuah negara yang
baru saja memproklamasikan kemerdekaannya (Indonesia adalah negara pertama yang
memproklamasikan kemerdekaan setelah Perang Dunia II), mati matian untuk
mempertahankan kemerdekaannya yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945.
Tak
ayal, terjadi banyak pertempuran di berbagai daerah. Dengan semangat, para
pejuang bertarung sekuat tenaga untuk mempertahankan setiap jengkal tanah
Republik yang baru berdiri ini. Tak terkecuali di Sumatera Utara, khususnya
Kota Medan.
Di
Sumatera Utara, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, bisa dibilang,
dilakukan di segala medan tempur. Mulai dari perbukitan Berastagi, kilang
minyak Pangkalan Berandan hingga jalanan Kota Medan. Kali ini, kita khusus
membahas tentang Pertempuran Medan Area yang bertujuan untuk membebaskan Kota
Medan dari Sekutu.
Pertempuran Medan Area
: Perjuangan Merebut Kota Medan
Latar
Belakang Pertempuran Medan Area
Sebelum
mulai pembahasan tentang latar belakang Pertempuran Medan Area, perlu untuk
diketahui bahwa sejatinya pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan
Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan
nama Civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima
tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama
pemerintah Belanda. Inilah yang menyebabkan kenapa yang datang ke Medan
untuk menjalankan ‘tugas’ yang diamanahkan Sekutu adalah Tentara
Inggris. Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah
sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada Belanda.
Kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan cukup terlambat di Medan karena sulitnya komunikasi.
Proklamasi Kemerdekaan baru dilakukan di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945
oleh Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera. Proklamasi dilaksanakan di
Lapangan depan Balaikota saat itu (sekarang dinamakan Lapangan Merdeka). Untuk
membantu pengamanan daerah Provinsi Sumatera, pada tanggal 7 Oktober 1945, dua
hari setelah Presiden Sukarno membubarkan BKR dan memerintahkan pembentukan
TKR, Gubernur Sumatera Mr.T.M. Hasan, mengangkat koordinator-koordinator TKR di
setiap Residensi. Sebagai koordinator untuk daerah Sumatera Timur
diangkatlah Abdul Karim M.S. dan untuk daerah Tapanuli dr. Ferdinand
Lumbantobing. Mengingat tugasnya sebagai asisten senior pada kantor Gubernur,
maka pada tanggal 9 Oktober 1945, Abdul Karim M.S. mengangkat Mahruzar (adik
kandung Perdana Menteri Sutan Sayhrir) sebagai formatur untuk membentuk
organisasi ketentaraan. Pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam
pertemuan untuk membentuk TKR Sumatera Timur, Ahmad Tahir terpilih
sebagai Komandan TKR Sumatera Timur. Sementera TKR Tapanuli dipimpin oleh
Pandapotan Sitompul, TKR Aceh dipimpin Syamaun Gaharu, TKR Riau dipimpin oleh
Hasan Basri, TKR Sumatera Barat dipimpin oleh Dahlan Jambek, TKR Jambi dipimpin
oleh Abun Jani, dan TKR Palembang dipimpin oleh Hasan Kasim. Markas Besar TKR
Sumatera berkedudukan di Lahat Sumatera Selatan. Sejak bulan November 1945, Dr.
A.K. Gani diangkat oleh Markas Besar TKR di Jawa sebagai organisator dan
koordinator TKR Sumatera. R. Soehardjo Hardjowardojo diangkat sebagai Kepala
Markas Besar TKR Sumatera. Dr. A.K. Gani kemudian mengeluarkan intruksi
yang menyatakan bahwa Sumatera dibentuk menjadi enam divisi dibawah Komandan
Mayor Jendral Suhardjo Hardjo Wardjojo. Unit-unit TKR Sumatera Timur dan
Tapanuli dijadikan Divisi IV dan VI. Di Medan dibentuk satu
unit polisi militer. Pada tanggal 26 Januari TKR Sumatera diubah namanya menjadi
Tentara Republik Indonesia (TRI), sesuai dengan instruksi Pemerintah Republik
di Jawa.
Namun,
sebagaimana yang terjadi di berbagai kota di Indonesia saat itu, Pasukan Sekutu
Brigade-4 Divisi India ke-26 tiba di Sumatera Utara pada tanggal 10 Oktober
1945. Pasukan ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly. Seperti
halnya di daerah daerah lain, kedatangan pasukan Kelly ini disertai juga dengan
Pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang didahului oleh
kedatangan sebagian kecil Pasukan Sekutu pimpinan Letnan Brondgeest. Brondgeest
dan empat orang lainnya dikirim dari Markas Admiral Mountbattens, Komandan
South East Asia Command (SEAC) di Kondy (Cylon) dengan instruksi untuk
mengawasi persiapan pendaratan pasukan Sekutu di Medan. Pasukan Sekutu disambut
oleh Pemerintah Sumatera Utara dan mempersilahkan mereka untuk menempati
beberapa hotel di Medan yang telah disiapkan oleh Brondgeest sebelumnya seperti
Hotel de Boer (Dharma Deli), Grand Hotel (Granada), Hotel Astoria (Angkasa),
Gedung NHM (Nederlands Handels Maatschappij), dan lain-lain. Sebagian lagi
ditempatkan di Tanjung Morawa, Binjai dan kompi Batalyon-6/SWB pindah ke
Brastagi dan menempati gedung Plantersschool (bekas tempat tawanan sipil
Belanda) masa pendudukan tentara Jepang. Brigjend Kelly menyatakan kepada
pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari
beberapa kamp di luar Kota Medan.
Keesokan
harinya, tim RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Interness)
mengunjungi kamp kamp tawanan yang ada di Brayan, Rantau Prapat, Saentis dan
Berastagi untuk membebaskan tawanan dan membawanya ke Medan. Hal ini disetujui
oleh Gubernur Sumatera, Teuku Muhammad Hasan. Akan tetapi, Inggris malah
mempersenjatai mereka dan membentuk Medan Batalyon KNIL, yang terdiri atas seluruh
tawanan yang telah dibebaskan dan dipersenjatai. Para bekas tawanan ini menjadi
arogan terhadap para pejuang dan rakyat. Untuk hal ini, masyarakat masih
bersabar.
Amarah
para pejuang, terutama pemuda, mulai terbakar ketika seorang tentara NICA merampas
dan menginjak injak lencana Merah Putih. Saat itu tanggal 13 Oktober 1945.
Tidak hanya itu tindakan provokasi Inggris. Tanggal 18 Oktober, Brigjend Kelly
mengeluarkan ultimatum yang berbunyi sebagai berikut, bahwa bangsa Indonesia
dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak,
keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada
tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak
menyerahkan senjatanya kepada TKR dan Laskar rakyat, dan harus menyerahkan
semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu. Pada 23 Oktober 1945,
Pasukan Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota Medan dan
sekitarnya. Dalam penggerebekan itu mereka berhasil mendapatkan 3 pistol, 1
senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan
tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 detonator listrik, dan 6 tombak.
Sejak
tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat
terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentara Inggris sampai ke
Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis, bahkan ada serdadu-serdadu
dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan.
Di samping itu Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers,
menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan
daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu
akhirnya menimbulkan konflik bersenjata dengan para pemuda Republik baik yang
bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat. Dan provokasi Inggris yang
paling puncak adalah ketika tanggal 1 Desember 1945 diberbagai sudut kota
Medan, Inggris menandai secara sepihak wilayah kekuasaannya dengan memasang
tulisan “Fixed Boundaries Medan Area”, dan daerah inilah kemudian terkenal
menjadi Medan Area.
Tapi
tentu saja, sikap provokatif Inggris harus dibayar dengan amarah rakyat. Di
bagian berikutnya, akan dijelaskan bagaimana bentrokan pecah dan bertumbuh
menjadi Pertempuran Medan Area.
Jalannya
Pertempuran Medan Area
Pertempuran
Medan Area dimulai dari bentrokan tanggal 13 Oktober 1945, baru empat hari
setelah pasukan Inggris sampai di Medan, meledak suatu konflik bersenjata
antara para pemuda revolusioner dengan pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu
terjadi akibat adanya provokasi langsung seorang serdadu Belanda yang bertindak
merampas lencana merah putih (sudah disebutkan di bagian sebelumnya) yang
tersemat di peci seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama Pension
Wilhelmina, Jalan Bali (sekarang Jalan Veteran). Ratusan pemuda yang berada
ditempat itu menyerang serdadu itu dengan senjata pedang, pisau, bambu
runcing, dan beberapa senjata api. Dalam peristiwa itu timbul korban sebagai
berikut : 1 orang opsir yaitu Letnan Goeneberg dan 7 orang serdadu NICA
meninggal. Beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal, dan 96 orang serdadu
NICA luka-luka termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 orang wanita. Di pihak
Indonesia gugur 1 orang (menurut prasasti yang didirikan 7 orang) dan luka berat
satu orang. Lokasi pertempuran saat ini berada dekat dengan Pusat Pasar.
Peristiwa
Jalan Bali itu segera tersiar ke seluruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh
daerah Sumatera Utara dan menjadi sinyal bagi kebanyakan pemuda, bahwa
perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Darah orang Belanda dan kaum
kolonialis harus ditumpahkan demi Revolusi Nasional. Akibatnya dengan cepat
bergelora semangat anti Belanda di seluruh Sumatera Timur. Diantara pemuda itu
adalah Bedjo, salah seorang pemimpin laskar rakyat di Pulo Brayan. Bedjo
bersama pasukan selikurnya pada tanggal 16 Oktober 1945, tengah hari setelah
sehari sebelumnya terjadi peristiwa Siantar Hotel, menyerang gudang
senjata Jepang di Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan. Setelah melakukan
serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan pasukannya
kemudian menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo
Brayan. Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang
menyerang Helvetia berhasil menewaskan 5 orang serdadu KNIL. Serangan yang
dilakukan oleh para pemuda di Jalan Bali dan Bedjo itu telah menyentakkan pihak
Sekutu (Inggris). Mereka mulai sadar bahwa para pemuda-pemuda Republik telah
memiliki persenjataan dan semangat kemerdekaan yang pantas diperhitungkan.
Sementara
itu, di simpang Jalan Deli dan Jalan Serdang yang sekarang disebut Jalan
Perintis Kemerdekaan, pecah bentrokan lain. Bentrokan pecah di sebuah masjid di
sana. Para pejuang yang dipimpin Wiji Alfisa dan Zain Hamid bertempur dengan
tentara Inggris pada 17 Oktober 1945. Mereka berhasil bertahan dari gempuran
Inggris hingga pada 20 Oktober 1945, Inggris memutuskan untuk menghancurkan
masjid tempat mereka bertahan. Setelah perang, masjid lain dibangun diatasnya
untuk mengenang perjuangan mereka. Masjid itu dinamai Masjid Perjuangan 45.
Oleh
karena itu sebagai tentara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan
ketertiban, Komandan Inggris Brigadir Jenderal TED Kelly pada tanggal 18
Oktober 1945 mengeluarkan sebuah ultimatum yang berbunyi sebagai berikut,
bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam,
seperti pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu
harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan
untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan Laskar rakyat, dan harus menyerahkan
semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu. Pada tanggal 23
Oktober 1945, pasukan Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota
Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan itu mereka berhasil mendapatkan 3
pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan,
3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 denator listrik, dan 6 tombak.
Sejak
tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat
terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentara Inggris sampai ke
Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis, bahkan ada serdadu-serdadu
dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan.
Di samping itu Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers,
menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan
daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu
akhirnya menimbulkan konflik bersenjata dengan para pemuda Republik baik yang
bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat.
Demikianlah
pada tanggal 2 Desember 1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang mencuci
trucknya di Sungai dekat Kampung Sungai Sengkol telah diserang oleh TKR. Kedua
serdadu Inggris itu tewas, dua buah senjata dan trucknya dirampas. Dua hari
kumudian, seorang perwira Inggris tewas terbunuh di sekitar Saentis.
Akibatnya pasukan Inggris terus melakukan patroli di sekitar Medan, dan mereka mulai
bertindak kasar. Pada tanggal 6 Desember 1945, tentara Inggris datang mengepung
Gedung Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua filem di
gedung tersebut. Tindakan tentara Inggris itu menyebabkan para pemuda segera
mengepung gedung bioskop itu, sehingga timbullah pertempuran kecil, yang
berakhir dengan tewasnya seorang tentara Inggris.
Beberapa
jam setelah peristiwa “Oranje Bioscop”, markas Pesindo di Jalan Istana dan
markas Pasukan Pengawal Pesindo di sekolah Derma dirazia oleh tentara Inggris.
Di sepanjang Jalan Mahkamah dan Jalan Raja, tentara Inggris melakukan show
of force. Tidak lama sesudah itu, markas TKR di bekas restoran Termeulen
diobrak-abrik dan penghuninya diusir oleh tentara Inggris. Pada malam harinya
para pemuda dan anggota TKR menyerang gedung itu dengan granat botol, sehingga
gedung itu terbakar. Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam
hari di mana-mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan
TKR. Akibat serangan itu tentara Inggris/NICA pada tanggal 10 Desember
1945 menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian,
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar
Bangsa Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan barang
siapa memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas kota Medan dan
Belawan akan ditembak mati.
Untuk
menindaklanjuti intruksi itu pada bulan Maret 1946 pasukan Sekutu/Inggris
kembali melakukan razia ke basis-basis laskar rakyat di sekitar Tanjung Morawa.
Barisan Pelopor dan Laskar Napindo yang berada berada di daerah ini kemudian
mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak. Pertempuran kemudian
berkobar selama dua hari dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya
dari Tanjung Morawa. Namun demikian pasukan sekutu terus melakukan razia di
dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV berserta
seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya
pindah ke Pematang Siantar.
Sejak
pindahnya Komando Militer dan Pemerintahan Republik ke Pematang Siantar pasukan
Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Laskar Rakyat di
sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur
habis kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan itu tentu saja
membuat penduduk sipil mengungsi ke luar kota, seperti ke Tanjung Morawa,
Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan sebagainya.
Kampung-kampung seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara, Jl. Japaris,
Kota Maksum, Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru,
Padang Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar, Kampung Sekip, Glugur, dan
sebagainya menjadi sepi. Meskipun demikian Inggris tidak leluasa bergerak ke
luar kota, karena laskar rakyat dan TRI siap menghadangnya.
Sampai
akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan Area bergerak
tanpa komando. Karena itu pada bulan Agustus 1946 dibentuklah Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Karim dan Marzuki
Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. KRLMA membawahi laskar
Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah, dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan
disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi. Medan Area
dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub-sektor. Markas
Komando ditempatkan di Two Rivers (Treves).
Dalam
pada itu Belanda mulai mengarahkan kekuatan militernya ke Sumatera dalam
rangka mengamankan sumber ekonomi yang vital di Sumatera Timur. Untuk
itu, maka pada awal bulan Oktober 1946 satu batalion pasukan bersenjata
dari negeri Belanda mendarat di Medan. Beberapa hari kemudian diikuti dengan
satu batalion KNIL dari Jawa Barat. Gerakan militer pasukan Belanda ini tidak
bisa dilepaskan dengan adanya rencana Inggris yang ingin secepatnya
meninggalkan Indonesia. Semua instasi penting yang ada di Medan Area
segera diserahkan kepada Komandan Militer Belanda. Pasukan Belanda kemudian
mengambil alih semua tugas penyerangan terhadap pangkalan militer Republik di
sekitar Medan Area. Unit-unit militer Republik, baik TRI maupun laskar rakyat
segera bereaksi menanggapi pengambilalihan Belanda dan mulai meningkatkan
serangannya terhadap patroli-patroli Belanda maupun Inggris. Hingga akhir
tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan
Belanda terus terjadi di segala front Medan Area.
Atas
prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941 disetujui untuk
mengadakan serangan bersama. Sasaran yang akan direbut di Medan Timur adalah
Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat ialah Padang Bulan, Petisah,
Jalan Pringgan, sedangkan di Medan selatan adalah kota Matsum yang akan jadi
sasarannya. Rencana gerakan ditentukan, pasukan akan bergerak sepanjang jalan
Medan-Belawan.
Hari "H" ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB, sasaran pertama Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari "H", batalyon A resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen laskar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.
Hari "H" ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB, sasaran pertama Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari "H", batalyon A resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen laskar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.
Patut
diketahui, bahwa beberapa waktu yang lalu, pihak Inggris telah menyerahkan
sebagian kekuasaannya kepada Belanda. Pada saat sebagian pasukan Inggris
bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan Belanda, pasukan kita
menyerang mereka. Gerakan-gerakan batalyon-batalyon resimen Laskar Rakyat Medan
Area rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah Medan Selatan dihujani
dengan tembakan mortir. Pasukan kita membalas tembakan dan berhasil
menghentikannya.
Sementara
itu Inggris menyerang seluruh Medan Selatan. Pertempuran jarak dekat berkobar
di dalam kota. Pada keesokan harinya Kota Matsum bagian timur diserang kembali.
Pasukan Inggris yang berada di Jalan Ismailiah berhasil dipukul mundur.
Sementara
pertempuran berlangsung, keluar perintah pada 3 November 1946, gencatan senjata
diadakan dalam rangka penarikan pasukan Inggris dan pada gencatan senjata itu
dilakukan, digunakan untuk berunding menentukan garis demarkasi. Pendudukan
Inggris secara resmi diserahkan kepada Belanda pada tanggal 15 November 1946.
Tiga
hari setelah Inggris meninggalkan Kota Medan, Belanda mulai melanggar gencatan
senjata. Di Pulau Brayan pada tanggal 21 November, Belanda merampas harta benda
penduduk dan pada hari berikutnya Belanda membuat persoalan lagi dengan
menembaki pos-pos pasukan laskar di Stasiun Mabar, juga Padang Bulan ditembaki.
Pihak
laskar membalas. Kolonel Schalten ditembak ketika lewat di depan pos Laskar.
Belanda membalas dengan serangan besar-besaran di pelosok kota. Angkatan Udara
Belanda melakukan pengeboman, sementara itu di front Medan Selatan di Jalan
Mahkamah kita mendapat tekanan berat, tapi di Sukarame gerakan pasukan Belanda
dapat dihentikan.
Pada
tanggal 1 Desember 1946, pasukan kita mulai menembakkan mortir ke sasaran
Pangkalan Udara Polonia dan Sungai Mati. Keesokan harinya Belanda menyerang
kembali daerah belakang kota. Kampung Besar, Mabar, Deli Tua, Pancur Bata dan
Padang Bulan ditembaki dan dibom. Tentu tujuannya adalah memotong bantuan
logistik bagi pasukan yang berada di kota. Tapi walaupun demikian, moral
pasukan kita makin tinggi berkat kemenangan yang dicapai.
Karena
merasa terdesak, Belanda meminta kepada pimpinan RI agar tembak-menembak
dihentikan dengan dalih untuk memastikan garis demarkasi yang membatasi wilayah
kekuasaan masing-masing. Dengan adanya demarkasi baru, pasukan-pasukan yang
berhasil merebut tempat-tempat di dalam kota, terpaksa ditarik mundur.
Selagi
kita akan mengadakan konsolidasi di Two Rivers, Tanjung Morawa, Binjai dan
Tembung, mereka diserang oleh Belanda. Pertempuran berjalan sepanjang malam.
Serangan Belanda pada tanggal 30 Desember 1946 ini benar-benar melumpuhkan
kekuatan laskar kita. Daerah kedudukan laskar satu demi satu jatuh ke tangan
Belanda. Dalam serangan Belanda berhasil menguasai Sungai Sikambing, sehingga
dapat menerobos ke segala arah.
Perkembangan
perjuangan di Medan menarik perhatian Panglima Komandemen Sumatera. Ia menilai
bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Resimen Laskar Rakyat Medan Area ialah
karena kebijakan sendiri. Komandemen memutuskan membentuk komando baru, yang
dipimpin oleh Letkol Sucipto. Serah terima komando dilakukan pada tanggal 24
Januari 1947 di Tanjung Morawa. Sejak itu pasukan-pasukan TRI memasuki Front
Medan Area, termasuk bantuan dari Aceh yang bergabung dalam Resimen Istimewa
Medan Area.
Membuka
awal tahun 1947, dibentuk “Komando Medan Area” (KMA) yang dipimpin langsung
oleh perwira tinggi TRI, dan mengambil alih pimpinan operasi di front Medan
Area dari tangan Resimen Laskar Rakyat Medan Area (RLRMA). Resimen Laskar
Rakyat Medan Area dibubarkan. KMA kemudian melancarkan serangan yang
dikenal dengan “Operasi 15 Februari 1947.” Operasi militer tanggal 15 Februari
itu merupakan operasi besar-besaran yang pertama di Medan Area, yang melibatkan
kekuatan TRI dan Laskar Rakyat. Di sektor Barat dan Utara, dikerahkan pasukan
TRI Divisi Gadjah II, pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), dan dibantu
oleh laskar rakyat yang berada di sektor tersebut. Operasi di sektor itu
dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad, Komandan RIMA. Di sektor selatan dikerahkan
pasukan-pasukan dari Resimen I, II, III Divisi Gadjah II Sumatera Timur dan
dibantu oleh Laskar Rakyat Medan Selatan. Operasi di sektor tersebut dipimpin
oleh Mayor Martinus Lubis, Komandan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II.
Dalam
pertempuran tanggal 14-15 Februari, disamping gugurnya Komandan Batalion I
Resimen II Divisi Gadjah II TRI, lebih dari 100 orang anggota laskar dan TRI
menderita luka berat dan ringan. Pertempuran itu juga telah menelan korban 17
orang penduduk sipil tewas dan 50 orang lainnya menderita luka-luka. Di sisi
lain, sebanyak 70 buah rumah musnah terbakar. Di pihak Belanda telah gugur
dalam pertempuran itu sebanyak 35 orang dan lebih 60 orang lainnya menderita
luka-luka. Sebuah Mustang dan tiga buah pipercub mengalami kerusakan hebat dan
sebuah tank brengun carrier rusak dan terbakar terkena granat di Jalan Mahkamah.
Di Sukaramai, sebuah panser dapat dirampas oleh laskar rakyat dan pengemudinya
mati terbunuh dan lima kenderaan militer lainnya hancur. Dalam
pertempuran itu, sebanyak dua kali lapangan terbang Polonia mengalami
kerusakan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk beberapa
saat. Lemahnya koordinasi antar pasukan yang diakibatkan oleh buruknya
sarana komunikasi dan lemahnya persenjataan, tampaknya menjadi faktor utama
kurang berhasilnya serangan frontal tanggal 15 Februari 1947.
Serangan
yang dikordinasi oleh KMA itu dihentikan, karena ada perintah penghentian
tembak menembak (cease fire) pada tanggal 15 Februari 1947 jam 24.00. Sesudah
itu Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan
garis-garis demarkasi yang definitif untuk Medan Area. Dalam perundingan
yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis
demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang
garis demarkasi yang dikuasai oleh tentara Belanda dengan daerah yang dikuasai
oleh tentara Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947
dimulailah pemasangan patok-patok pada garis demarkasi itu. Pertempuran dan insiden
bersenjata antara kedua pihak selalu mempersengketakan garis demarkasi itu.
Memasuki
bulan Juni 1947, hubungan antara pemerintah Republik dan Belanda semakin buruk.
Perjanjian Linggarjati dan Gencatan Senjata di Sumatera Timur (Medan Area)
tidak ditepati. Belanda mulai merusak perjanjian linggarjati dengan membentuk
Negara Pasundan. Di Sumatera Timur, Belanda melakukan tindakan profokatif
untuk memecah belah persatuan antara rakyat dan Republik Indonesia. Untuk
mencapai tujuan itu Belanda bahkan mengedarkan candu, uang palsu, dan
memberikan hadiah uang kepada kaki tangannya untuk membunuh perwira TRI dan
tokoh-tokoh Republik.
Mengantisipasi
akan pecahnya konflik militer terbuka dengan Belanda, maka Presiden
Soekarno tanggal 3 Mei 1947 memerintahkan penggabungan semua pasukan
bersenjata ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Pada tanggal 13 Juli 1947
Jendral Suhardjo Komandan T.R.I. Territorium Sumatera memerintahkan semua
kekuatan TRI dan Laskar Rakyat di Sumatera segera bergabung ke dalam TNI. Namun
demikian, sejumlah unit-unit Laskar Rakyat tidak mau mematuhi perintah
Suhardjo, terutama dari Pesindo dan Barisan Merah. Bahkan unit-unit yang
diterima sebagai bagian dari TNI pun sedikit sekali yang patuh, karena mereka
memiliki otonomi dalam aspek politik dan ekonomi. Bagi beberapa Laskar Rakyat,
pada umumnya terus beroperasi secara bebas seperti sebelumnya, mereka saling
bersaing baik dengan Laskar Rakyat lainnya maupun dengan TRI, terutama dalam
memperebutkan sumber-sumber ekonomi sebagai sarana memperoleh senjata.
Akhir
Pertempuran Medan Area
Pertempuran
Medan Area berakhir pada 15 Februari 1947 pukul 24.00 setelah ada perintah dari
Komite Teknik Gencatan Senjata untuk menghentikan kontak senjata. Sesudah itu
Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan
garis-garis demarkasi yang definitif untuk Medan Area. Dalam perundingan
yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis
demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang
garis demarkasi yang dikuasai oleh tentara
Belanda
dengan daerah yang dikuasai oleh tentara Republik seluruhnya adalah 8,5 Km.
Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah pemasangan patok-patok pada garis demarkasi
itu. Akan tetapi kedua pihak, Indonesia dan Belanda, selalu bertikai mengenai
garis demarkasi ini. Empat bulan setelah akhir pertempuran ini, Belanda
melaksanakan Operatie Product atau disebut Agresi Militer Belanda I.
Ada
beberapa akibat dari Pertempuran Medan Area ini, yaitu :
1. Terbaginya
kawasan Medan oleh garis demarkasi.
2. Perpindahan
pusat pemerintahan Provinsi Sumatera ke Pematang Siantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar